Assalamualaikum warahmatullah Wabarakatuh

Pranata sosial adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Pengertian ini memberi petunjuk bahwa pranata sosial itu sebenarnya identik dengan hukum atau peraturan yang berlaku pada masyarakat. Pranata sosial Islam telah mengalami perkembangan sejak masa Rasul SAW., yang disebut dengan masa pertumbuhan, kemudian berlanjut pada masa khulafa al-Rasyidin, masa tabi’in, masa pembangunan mazhab, masa taklid dan jumud, serta maka kebangunan kembali pada masa modern. Pada masa Rasul SAW, pranata sosial baru pada peletakan dasar yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pada masa ini pranata sosial Islam tumbuh dengan diberi dasar-dasar wahyu sebagai pondasi bagi perkembangan selanjutnya. Peletakan dasar-dasar pranata sosial melalui wahyu ini mencakup masa Mekkah dan masa Madinah.

Pada masa Mekkah, pranata sosial Islam mengarahkan pada pembinaan Aqidah dan Akhlaq, menyeru manusia untuk mengakui keesaan Allah dan membenarkan keutusan Nabi Muhammad saw. Pada masa ini tiga belas tahun lamanya Al-Qur’an menitik beratkan pada perbaikan aqidah dan akhlaq, seperti mengharamkan bangkai, darah terpancar, binatang yang disembelih untuk selain Allah. Pada masa Madinah, Nabi mengarahkan usahanya kepada membina hukum-hukum pergaulan dalam segala aspek kehidupan. Di masa Madinah syari’ah ibadah dilengkapi lagi serta hukum-hukum mu’amalah, jihad, mawaris, wasiat, thalaq, perkawinan, hukum-hukum sumpah, peradilan, dan segala hukum yang kemudian dibicarakan dalam fiqh.

Cara Nabi membina hukum Islam dengan cara tadrij, berangsur-angsur, satu demi satu, bukan sekaligus, tidak dengan jalan dibuat-buat atau membuat hukum atas persoalan yang belum pernah terjadi, bukan dengan jalan membayang-bayangkan, dan hukum tersebut tidak pula dibukukan. Di samping itu Nabi juga melatih para sahabatnya untuk berijtihad guna menetapkan hukum, tetapi tetap dalam pengawasan beliau. Beliau sendiripun dilatih oleh Allah untuk berjtihad, tetapi tetap dalam pengawasan wahyu sehingga bila ijtihad beliau tidak tepat wahyu segera mengoreksinya dan jika tidak ada koreksi dari Allah, berarti ijtihad tersebut benar.

Pada masa berikutnya, yang disebut dengan masa sahabat kecil dan Tabi’in perbedaan pola pemahaman atas dasar-dasar pranata sosial Islam semakin kelihatan lebih jelas dengan berkembangnya mazhab ahlul hadits dan mazhab ahlul ra’yi. Ulama ahlul hadits mengambil pemahaman atas dasar pranata sosial Islam berhenti pada nash dan atsar saja, dan mereka tidak menggunakan ra’yu kecuali di waktu sangat darurat. Ulama ahlul ra’yi mengambil pemahaman melalui makna-makna yang dinalar melalui nash. Mereka berpendapat bahwa hukum-hukum syari’at dapat difahamkan maknanya dan hukum-hukum tersebut ber-sendikan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.

Pada perkembangan berikutnya, pranata sosial Islam berbentuk mazhab-mazhab. Seperti mazhab Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I, Hambali, Zahiri, maupun Ja’fari. Bila aliran ahlul hadits dan aliran ahlul ra’yi tidak demikian luas pengaruhnya, maka kemudian fatwa-fatwa dan metode istinbath hukum yang ditempuh oleh Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I, Daud al-Zahiri, dan Ja’far al-Sadiq segera membentuk mazhab. Terbentuknya mazhab-mazhab itu kemudian mengakibatkan timbulnya taklid dan jumud di dunia Islam sebab murid-murid imam mazhab itu hanya mengandalkan pada ijtihad gurunya, apalagi pemerintahan mendukung dengan kuat berlakunya suatu mazhab saja di wilayahnya demi untuk kestabilan masyarakat yang diperintahnya, juga untuk kepastian hukum di pengadilan.

Melihat kebekuan itu, al-Ghazali (w. 1111 M) mencoba menghidupkan kembali semangat ijtihad dengan menjelaskan syarat ijtihad yang tidak seberat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Ibn Taimiyah yang hidup dipertengahan abad ke-13 M hingga awal abad ke 14 bahkan memberikan syarat yang lebih ringan lagi sekan sefaham dengan mereka, tidak dapat membangkitkan semangat ijtihad pasa masa itu karena taklid telah demkian kuat menjangkiti kaum muslimin, sedangkan di pihak lain keadaan sosial budaya tidak mengalami perubahan atau statis saja.

Keadaan demikian terus berlangsung hingga abad ke-19 M. Di abad ke-19 M atau abad ke-13 H barulah gerakan untuk berijtihad mulai mengalami kebangkitan kembali. Faktor penting dari kebangkitan itu adalah perubahan sosial budaya yang dihadapi kaum muslimin yang oleh disebabkan revolusi iptek barat sehingga para ulama Islam yang telah menyadari keadaan itu segera mengadakan introspeksi ke dalam masyarakat Islam dan berusaha merubah kaum muslimin dengan berbagai macam ijtihad mereka guna memajukan kaum muslimin.

Keterangan yang telah dikemukakan memberikan penjelasan bahwa perkembangan pranata sosial Islam tidaklah independen dengan situasi sosial budaya masyarakat Islam dan faktor-faktor luar yang berakibat ke dalam masyarakat Islam, seperti kita lihat pada kebangkitan kembali gerakan ijtihad mulai dari abad ke-13 H atau abad ke-19 M.

Penulis : Desi Nurfatmaningrum